Hariyani

Hariyani adalah nama asli sejak lahir dari Ibu bernama Marsini dan Bapak bernama Paniran yang tinggal di Blitar. Berlatar pendidikan SDN Jatituri 2 Blitar, SMPN...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pandanganmu Mengalahkan Pendirianku, Cerpen TantanganGurusiana ke-72
cerpen

Pandanganmu Mengalahkan Pendirianku, Cerpen TantanganGurusiana ke-72

Pandanganmu Mengalahkan Pendirianku

Oleh Hariyani

Tinggi posturnya tapi tidak jangkung. 170 cm untuk ukuran orang Indonesia sudah tergolong tinggi. Bersih kulitnya tapi tidak kuning. Ketika ada muncul jerawat sedikit saja sudah jelas terlihat. Selalu berusaha untuk menghilangkannya. Sipit matanya seperti mata etnis Tionghoa sehingga sering digoda dengan sebutan singkek. Sebutan yang diberikan kepada orang Tionghoa. Sebenarnya label singkek tidak cocok untuknya karena makna yang beredar di masyarakat jika seseorang dijuluki dengan label singkek, orang tersebut sangat medit, pelit, atau kikir. Kalau menurutku ya memang sipit begitu saja. Apalagi kalau tertawa, matanya seperti terpejam sehingga menimbulkan kejahilan teman-temannya untuk mengolokinya ‘ditinggal ngumpet pasti nggak tahu’.

Usianya 20 tahun adalah usia yang masih tergolong remaja. Seusia ini anak-anak masih dalam taraf penyesuaian kepribadian, masih mencari jati diri siapa dia sebenarnya. Di usia seperti ini yaitu usia remaja sangat mudah terpengaruh oleh pemikiran orang lain yang menurutnya cocok. Itulah sebabnya berbahaya sekali anak seusia ini jika masuk dalam pergaulan yang negatif.

Usia yang ditandai juga mempunyai sifat yang aktif bergerak. Dia merasa tidak betah hanya tinggal di rumah saja tanpa melakukan apa-apa. Ada-ada saja yang dilakukannya. Itulah Faizal anakku yang kecil.

“Ke mana, Le?” tanyaku kulihat dia sudah memakai pakaian olah raga lengkap.

Jogging, Buk.” Jawabnya.

“Di mana?” masih kutanya sambil membersihkan lemari mainan. Sebuah lemari yang terisi dengan pernak-pernik koleksi kegemaran berupa miniatur. Paling atas mobil-mobilan besi yang berupa sedan dengan berbagai macam bentuk sedan. Ada Tomtomo Chevrolet Camari 1 SSBumblebee, Transformer Fast Furious, Tomtomo mobil-mobilan Polisi sedan Deicast , DMW 18, Mobil Kinsmart, Kinsmaart Comoro ZL1 Police, Die Cast Kinsmart Toyota MR2 Street Fighter, Lamborghini Huracan LP610-4 Avio – Diecast, dan entah apalagi yang aku tidak paham satu per satu. Ada puluhan koleksi mobil-mobilan dipajang di almari mainan itu.

Pada rak kedua aku teliti koleksi mobil-mobilan besi yang berbentuk jeep. Ada mobil Jeep Police Alloe, Hummer Alloe, Mercedes-Benz G.Class, Land Range Rover Evoque, Jeep Wrangler, Jeep Wrangler Rubicon, Hummer H2 SUV Diecast Jip Jeep, Tomtomo Toyota Land Cruiser V8 dengan berbagai macam warna koleksinya, namun didominasi oleh warna hitam dan merah.

“Di Sport Center Buk.” Jawabnya. Aku segera menaruh mobil-mobilan yang aku bersihkan dan berlari mengejarnya. Sport Center adalah tempat berolah raga yang pengunjungnya dari berbagai kalangan. Di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti ini ada rasa was-was jika anak ke luar rumah berkumpul-kumpul di tempat umum. Kulihat dia sudah memakai masker.

“Tetap jaga jarak lo, Le.” Dia sudah berlari tapi kudengar dari jauh dijawabnya juga peringatanku.

Aku melanjutkan membersihkan rak yang ketiga. Koleksi yang dipajang di situ adalah koleksi tokoh-tokoh superhero atau action figure seperti Batman, Superman, Wonder Women, Aquaman, Ksatria Baja Hitam, Peter Parker, Thanos,, Dr. Bruce Banner, Kura-kura Ninja, Power Rangers, Spider man, yang semua lengkap dengan senjatanya. Sedangkan pada rak terbawah, tertata dengan indah koleksi binatang yaitu anjing Dalmatian, Mickey Mouse, keluarga anjing dengan berbagai bentuk dan ukuran, jerapah, kuda, ada juga kelinci. Semua aku bersihkan dengan peralatan yang dibutuhkan seperti baskom besar untuk merendam tokoh superhero, sikat gigi bekas untuk menyikat bagian yang kotor berdebu, sabun cair (tidak mengandung moisturizer) untuk mengkilapkan, beberapa lembar handuk kering untuk mengeringkan, dan kanebo untuk mengelap mainan yang tidak boleh direndam seperti miniatur mobil besi.

Belum selesai aku menutup lemari mainan, anakku sudah datang sambil mengeluarkan nafas yang seperti baru dikejar anjing. Ngos-ngosan.

“Apa yang terjadi, Le?” tanyaku sambil kuamati wajah dan cara bernafasnya.

“Di sana, ada penertiban Buk. Ada tiga kesatuan yang naik mobil patroli, TNI, POLRI, dan Satpol PP,” Jawabnya sambil menata nafasnya.

“Waduuh, trus kamu dikejar mereka?”

“Ya nggaklah Buk. Mereka datang tidak untuk menakut-nakuti kok.” “Trus, apa yang mereka lakukan?”

“Memberi penyuluhan lewat pengeras suara, boleh berolahraga asalkan memakai masker, mereka juga sambil membagi masker, Buk. Harus menjaga jarak antara satu dengan yang lain, dan setelah selesai harus langsung pulang, tidak boleh ngumpul-ngumpul.”

“Trus, trus..” aku ingin mendengar kelanjutan ceritanya.

“Ya sudah, begitu saja. Setelah menerima masker ya aku terus pulang.”

“Hla kok kamu ngos-ngosan begitu?”

“Bagaimana nggak ngos-ngosan , Buk, khan aku belum sempat lari keliling, setelah menerima masker ya pulang sambil lari.”

“Oo.. begitu, ya baguslah. Ya sudahlah istirahat dulu.” Aku menyarankannya agar beristirahat sampai kering keringatnya, barulah mandi. Karena kalau belum kering keringatnya, sangat berbahaya. Setelah olahraga dan kondisi tubuh masih berkeringat, suhu tubuh masih panas apabila terkena air, suhu di tubuh menjadi tidak stabil itulah penyebab pusing. Dampak yang bisa langsung terasa juga apabila air memasuki tubuh melalui pori-pori yang terbuka ini akan menggigil kedinginan. Bisa juga rentan terhadap risiko nyeri sendi hingga rematik. Hal ini terjadi akibat tubuh yang harusnya melepas keringat, malah terhambat dengan masuknya air yang digunakan untuk mandi. Kinerja jantung juga meningkat saat kita berolahraga. Yang lebih fatal lagi adalah terkena serangan jantung. Hal ini disebabkan jantung bekerja mengedarkan darah ke seluruh tubuh lebih ekstra dari biasanya.

Kudekati dia saat duduk mengeringkan keringat di teras. Aku duduk pula di sampingnya.

“Bagaimana Le, pengajuan beasiswanya?”

“Kalau yang di indosat pasti gak bisa Buk, karena harus menyertakan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Tapi kalau di BRI tinggal wawancara. Aku urutan 16 dari 250 peserta.”

Alhamdulillah, ada angin segar. Semoga anakku lulus wawancara dan bisa menerima beasiswa. Mungkin pertimbangan BRI karena aku , Ibunya ini, termasuk kategori ekonomi yang pas-pasan karena berdasarkan data nasabah, hutangku di BRI banyak. Sehingga BRI memasukkannya pada kategori berprestasi dan kurang beruntung. Ini hanyalah persangkaanku saja. Apa pun alasannya, bagiku sangat membantu pendidikannya jika dia bisa menerima beasiswa itu.

“Buk, aku tak bicara ya?”

Aneh. Permintaannya ini membuatku merasa aneh. Sejak tadi aku dan dia juga bicara terus, tetapi dia tidak meminta izin. Mungkin ini ada masalah serius yang membuatnya meminta izin untuk bicara.

“Iya, bicara opo to?”

“Masalah yang agak sensitif ini Buk.”

“Sampaikan saja, kalau nggak kamu sampaikan Ibuk juga nggak ngerti apa yang mengganjal pikiranmu, Le.”

“Aku mengundurkan diri.” Aku terkesiap mendengar kata-kata ‘mengundurkan diri’ ini. mengundurkan diri dari apa? Dari organisasi silat yang diikutinya atau mengundurkan diri dari kampusnya? Aku mulai merasakan denyut jantung yang tidak beraturan. Aku mulai was-was. Mataku mulai panas. Dalam kondisi apa pun aku harus bisa mendengarkannya.

Bayanganku menjadi beralih kepada almarhum. Jika dia masih ada, tentu aku tidak setakut ini menghadapi permasalahan anaknya. Tentu dengan bijaksananya dia akan menyelesaikan permasalahan anaknya tanpa membuat beban pikiranku. Dia yang selalu menganggap permasalahan menjadi ringan dengan keputusannya. Lalu bagimana dengan sekarang ini? Aku harus berfikir sendiri, harus menyelesaikan masalah sendiri. Mataku mulai panas. Mendung sudah menyelimuti wajahku. Akankah air mata ini bertahan ataukah akan keluar aku harus menerima apa pun yang terjadi.

“Mundur dari apa, Le?” kutata hatiku untuk menanyainya agar pembicaraan berlanjut dan semakin jelas.

“Mundur dari beasiswa BRI.”

Sret! Darahku seakan berhenti mengalir. Mataku semakin panas. Dadaku bergemuruh. Detak jantungku semakin cepat dan tak beraturan. Aku tak bisa bertahan. Pertahananku tidak kuat. Air mataku berhamburan. Harapanku yang semula akan menjadi titik terang bagi kelangsungan pendidikannya menjadi buyar. Harapankau akan adanya bantuan dari BRI hilang musnah. Aku pandangi saja dia dengan airmata yang berderaian di pipi.

“Pandangi Ibukmu ini, Le.” Aku minta dia agar memandangiku, ibuknya ini yang berderaian air mata. Agar dia tahu bagaimana sedihnya Ibuknya ini. dia hanya menunduk. Kulanjutkan bicaraku sambil terisak-isak.

“Kamu pasti tahu apa artinya keputusanmu itu? Kamu punya dasar dan punya alasan yang mungkin sekarang ini tidak sesuai dengan keinginan ibukmu. Kamu tahu kan apa harapan Ibukmu ini kalau kamu mendapatkan beasiswa?”

“Iya Buk, aku tahu, aku bisa membantu Ibuk. Bisa meringankan beban Ibuk. Tapi hanya untuk sekarang. Urusan dengan dunia.” Aku semakin tidak mengerti alasannya. Urusan pendidikannya memang urusan dengan dunia. Kebutuhan dunia. Tapi apa maksud perkataannya itu.

“Maksudmu apa?” dia diam sebentar. Mungkin memilih-milih kalimat yang paling baik agar aku tidak tersinggung, agar aku tidak semakin menjadi-jadi dalam tangisku.

“Agar kita tidak terus menerus bergantung pada bank Bu. Agar iIbuk bisa selamat dunia akhirat.” Lalu kami menangis. Kami sama-sama berpikir dan merasa, tetapi dalam pemikiran yang berbeda. Aku masih merasa menyesali keputusannya yang tinggal selangkah itu. Aku merasa keputusannya sangat gegabah tanpa berkonsultasi terlebih dulu denganku.

“Apa maksudmu?” aku masih ingin penjelasan alasannya mengundurkan diri.

“Uang yang diberikan bank itu kan memotong gaji karyawannya.” Itu yang menjadi alasan pertamanya. Tidak masuk akal. Daftar gaji sudah ditentukan. Tidak ada konfirmasi pemotongan gaji untuk beasiswa. Kalau toh ada pemotongan gaji pasti akan menimbulkan permasalahan besar. Mogok kerja misalnya. Aku jawab juga alasanku ini. Pikiranku mulai jernih. Tentu yang dimaksudkannya adalah ketakutannya jika kehidupan kami semakin ruwet karena selalu berurusan dengan ‘riba’.

“Takut dengan riba, maksudmu?” aku menebak pikirannya.

“Ya itulah Buk.” Aku diam seribu bahasa. Selama ini aku selalu berkecimpung dengan riba. Aku pinjam uang di bank dan di tempat lain yang juga menentukan berapa persen jasanya mesti dengan cara yang halus. Aku masih berkutat dengan itu. Tapi bagaimana lagi? Kebutuhan yang tidak bisa ditunda harus berhadapan dengan mereka. Ya Allah, keluarkan hamba dari masalah ini. aku berjanji dalam diriku sendiri, aku tidak akan pinjam lagi jika semua tanggunganku sudah lunas. Anakku membuka pikiranku untuk berbuat agar lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan sehingga tidak berhubungan lagi dengan uang riba. Alhamdulillah ya, Allah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

keren

07 Jun
Balas

Mksh Bu..

07 Jun

Mksh Bu..

07 Jun

Mksh Bu..

07 Jun

Kisah...nya mantap.Bu...

07 Jun
Balas

Mksh Bu

07 Jun

Hebat banget membangun ide ceritanya. Mantaaap, ahh...

07 Jun
Balas

Terima kasih Bapak

07 Jun

Mestii Buuunda kini kalau bikin cerita mesti mewekk...Mesti mengandung ilmu pengetahuan dan informasi secara mendetailKenal nama-nama miniatur milik putra Bunda Yani, Mengapa nggak boleh mandi sehabis olahraga, dan unsur dunia akhiratnya always... Banyak hikmah dari setiap kisahnyaBarakallah fiik Buuun

07 Jun
Balas

Makasih Sayy..dikau selalu menginspirasi..

07 Jun



search

New Post